Connect with us

Hi, what are you looking for?

Film

Review Hesitation Wound di Jakarta World Cinema 2024, Antara Pengacara dan Moral Complex

Layar.id – Tanggal 21 September 2024 lalu, tim Layar.id berkesempatan untuk hadir dalam screening film Hesitation Wound di Jakarta World Cinema 2024. Film ini merupakan film garapan sutradara Selman Nacar yang juga hadir di sesi Question and Answer (Q&A) pada penayangan film tersebut. Kali ini, kami akan memberikan review untuk film Hesitation Wound.

Film Hesitation Wound berasal dari negara Turki, menceritakan tentang seorang pengacara yang berada dalam situasi sulit antara ibunya, kliennya, dan persidangan yang alot. Hesitation Wound pertama kali menggelar premiere-nya di 80th Venice International Film Festival. Film ini menggandeng aktris Tülin Özen sebagai bintang utamanya.

Berikut adalah review dari tim Layar.id, if you don’t mind with spoilers though!

Review Plot Hesitation Wound: Sesak dan Gelisah

Salah satu key point yang menjadi titik atmosfer bagi kami adalah suasana cerita yang seolah tidak memberi nafas bagi setiap pemerannya. Canan, seorang pengacara pidana, adalah peran utama wanita yang menjadi pion penggerak dalam Hesitation Wound. Posisi Canan terhimpit antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya.

Ibunda Canan tidak bisa beraktivitas dan harus opname di rumah sakit. Sang ibu mengidap penyakit organ dalam, yang mana dalam situasi tersebut turut mengundang kehadiran saudari Canan, Belgin, untuk menjaga sang ibu. Berbeda dengan Canan yang terus sibuk karena pekerjaan, Belgin sendiri sudah berkeluarga. Sistem jaga menjaga ini juga kerap menjadi titik perdebatan bagi keduanya.

Ada satu bagian saat Belgin dan Canan berdebat mengenai transplatansi organ yang disarankan oleh dokter. Canan menolak dengan alasan, “Ibuku masih hidup.” yang mendapat respon berupa kecaman Belgin, “Jika kau benar menyayanginya (sang ibu), kau akan memilih yang terbaik untuknya.”. Dari sini, penonton bisa melihat karakter Canan dan Belgin yang—sama-sama keras kepala, tapi mereka tidak punya banyak pilihan.

Plot mulai menceritakan pekerjaan Canan sebagai seorang pengacara pidana akan kasus pembunuhan yang Terduganya bernama Musa. Penggambaran karakter Canan yang tangguh dan keras kepala dalam mencari jawaban atas kasus Musa seolah tidak memberikan ruang istirahat bagi penonton. Canan tampak sensitif dan sedikit keras kepala dalam memanggil seluruh pihak yang berkaitan dengan Musa dalam kasus pembunuhan tersebut.

Tambah lagi, suasana yang alot dalam ruang sidang menyebarkan efek tidak nyaman dan gelisah karena penonton terus menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kejadian-kejadian tidak terduga seperti atap bocorr, sidang tertunda, perdebatan pengacara dan jaksa, hingga kesulitan kerjasama terhadap saksi yang seharusnya hadir pada saat itu. Tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi dalam ruang sidang Musa.

Pada akhir film, Canan harus bertarung dengan moral complex-nya sendiri. Khususnya untuk mengedepankan hal yang penting di hidupnya; antara karir atau kehidupan personalnya. Pilihan apapun yang jatuh ke tangan Canan memberi efek pada kasusnya, nama baiknya, bahkan ibunya. Film ditutup oleh open ending yang membuat penonton (lagi-lagi) mempertanyakan, bagaimana akhir dari cerita Canan?

Dari awal hingga akhir film, nampaknya tidak ada celah bagi Canan untuk setidaknya duduk dan menghela nafas panjang. Jika pun ada, maka itu adalah scene saat Canan menangis di rumah sakit.

Director’s Note: Sesi QnA Bersama Selman Nacar

Pada sesi QnA bersama sutradara Selman Nacar, sang sutradara menjawab beberapa pertanyaan terkait inspirasi film dan penokohan serta karakterisasi dalam Hesitation Wound.

Ketika muncul pertanyaan tentang apa yang menjadi inspirasi utama Selman, sang sutradara menyatakan bahwa inspirasi itu didapatkan dari keseharian dan kejadian di sekitarnya. Rupanya, Selman Nacar adalah pelajar dalam bidang hukum dan film! Hal ini cukup menjelaskan tentang penggambaran situasi ruang sidang sangat tepat dan relatable. Selman yang pernah berkutat dalam kasus-kasus hukum menuangkan segala pengalamannya dalam salah satu film karyanya.

Review Hesitation Wound

Selman Nacar juga cukup banyak mengambil scene dalam bentuk one take. One long take, to be precise. Pengambilan gambar ini menjadi pertanyaan bagi penonton. Ketika menjawab, Selman menjelaskan bahwa pengambilan gambar itu memang untuk menggambarkan situasi real time yang dirasakan oleh Canan.

Seperti misalnya, terdapat banyak scene dalam ruang sidang yang terasa alot dan tidak nyaman. “Jika di kenyataannya scene itu terjadi selama 5 menit, maka penonton akan menyaksikannya selama 5 menit,” tukas Selman. Strategi ini sukses menerapkan latar suasana yang lebih realistis sebagaimana proses sidang yang asli terlaksana.

Realistic approach to cinema.” Begitu pesan sang sutradara saat menutup jawaban mengenai inspirasi terhadap Hesitation Wound.

Canan vs The World

Penonton lain melontarkan pertanyaan (atau, pernyataan) mengenai rasa “sesak” dan gelisah yang sangat kental dalam film. Efek claustrophobic di dapatkan dari banyaknya scene yang terjadi dalam set indoor. Menurut Selman, hal ini berkaitan dengan esensi dari penulisan dan proses syuting yang dilakukan saat pandemi dan pasca pandemi. Selain itu, memang tidak ada tempat privasi bagi karakternya—terutama Canan, kecuali dalam mobilnya.

Gambaran definisi dari “No Private Place” yang paling tepat ada di adegan saat Canan menangis di kafeteria rumah sakit yang merupakan ruang publik, dan masih mendapat “intervensi” dari seorang pengunjung yang menanyakan kondisi Canan.

Review Hesitation Wound

Selman juga memberikan pendapatnya mengenai pertanyaan tentang karakter utamanya yang berjenis kelamin wanita. Bagi Selman, situasi yang berlangsung di sekitar Canan dapat terjadi pada siapa pun, baik laki-laki atau perempuan. Dan situasi tersebut adalah hal yang banyak tersirat dalam benak Selman sebagai seorang sutradara maupun individu. Energi feminine tampak dari peran Canan sebagai seorang anak yang memperjuangkan ibunya. Tetapi, Canan juga menunjukkan bentuk-bentuk keras hati yang ia lakukan saat bekerja sebagai pengacara.

Point yang menjadi goals bagi Selman adalah bagaimana penonton bisa berempati dengan situasi dan karakter Canan, terutama pada bagian akhir film yang menjadi poin krusial bagi ending kisah sang pengacara.

Hubungan Canan dan Hakim Tinggi di akhir cerita turut menjadi tanda tanya besar bagi penonton. Apakah tawaran Canan menjadi pertimbangan moralitas oleh sang Hakim? Apakah ada hubungannya sidang Musa yang alot dengan penawaran tersebut? Namun karena filmnya yang open ending, Selman meminta para penonton untuk mencari jawaban mereka sendiri. Termasuk pada berbagai simbolisme yang terletak di berbagai scene, seperti bangunan hancur dan cuaca buruk.

Menurut kamu, simbolisme badai artinya apa, guys?

Overall Review Hesitation Wound?

Film Hesitation Wound telah sukses menggaet dua penghargaan dari Arras Film Festival dan Brussels Mediterranean Film Festival di tahun 2023. Kedua piala ini membawa nama Hesitation Wound semakin merebak di berbagai festival film dunia, seperti Seattle International Film Festival, Sydney Film Festival, dan sekarang di Jakarta World Cinema!

Review Hesitation Wound

Memang butuh sedikit kesabaran dan pengertian saat menonton film ini. Dari segi plot, karakterisasi, dan atmosfernya, tim Layar.id memberi skor 8.5/10 untuk Review Hesitation Wound.

 

Jakarta World Cinema telah berlangsung sejak tanggal 21 hingga 28 September 2024 dengan total 120 film dari 61 negara. Kamu bisa menonton karya film dari berbagai belahan dunia di bioskop CGV Grand Indonesia, atau via online melalui platform streaming KlikFilm. Untuk info lebih lengkapnya, kamu bisa cek Instagram resmi @jakartaworldcinema atau postingan di @layardotid, ya!

What are you waiting for? Grab your tickets now!

Karya yang dimuat ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi layar.id.

Baca Juga